Memilih pasangan saat ini
#DiaryEli
Pernah gak sih berpikiran,
“Kok mirip banget ya karakternya? Apa kita jodoh?”
“Pasanganku harus bisa ini itu.. ya karena aku lihat diriku sendiri juga gitu. Masa mau cari pasangan yang ga sesuai standarku?”
Aku pernah berada pada dua fase itu, hingga aku sampai pada titik kesadaran: menerima perbedaan.
Aku dulu berpikir, kalau banyak perbedaam mencapai tujuannya agak susah dong, apalagi kalo sama-sama keras kepala. Aduh, bisa berabe. Makanya, aku dulu nyari yang banyak kesamaannya, biar tinggal jalanin aja.
Tapi saat ini aku sadar bahwa perbedaan justru tempatku belajar. Aku belajar menerima sifat, sikap pasanganku, menerima pola pikir yang mungkin rumit, dan lain-lain.
Terus apa yang membuatku mantap memilih pasangan saat ini?
Pernah dengar, “Ridho Allah bergantung pada ridho orang tua?”
Ya, aku saat ini menggunakan prinsip itu.
Pasanganku saat ini, dulu adalah mantanku dua tahun lalu, yang sempat aku putusin karena pernah selingkuh. Lho, bukannya orang yang selingkuh akan mengulangi lagi ya? Bisa benar, bisa tidak.
Beberapa kali aku bertanya pada teman-temanku yang laki-laki mengenai selingkuh.
Ada yang beranggapan bahwa peselingkuh itu akan sulit untuk setia.
Ada juga yang beranggapan bahwa peselingkuh juga berubah, kalo memang dia punya kemauan.
Terus aku percaya? Ya, aku percaya. Karena dua jawaban tersebut aku lebih menanyakan ke pelaku selingkuh. Beberapa dari mereka, ada yang mengaku menyesal telah melakukan itu, karena ternyata pasangannya saat ini tak sebaik pasangan sebelumnya, hingga dia pada titik kesadaran: aku tak perlu mencarinya lagi. Aku harus belajar dari kesalahanku.
Dan tahu pembuktiannya? Dia menikahi pasangan yang menjadi selingkuhannya dan pernikahannya langgeng sampai hari ini.
Hal-hal tersebut membuat aku berpikir kalau manusia itu gak ada yang sempurna, gak ada yang cepat puas, yang ada sering merasa kurang. Semua bisa berubah kalau dari dirinya sendiri, bukan karena tuntutan orang lain.
Dan kalau dipikir-pikir, ternyata aku juga pernah selingkuhin dia secara gak langsung. Tapi aku selingkuh hati, bukan tindakan terang-terangan. Aku menjalani hubungan LDR dengannya dari 2015. Sebelum aku memulai pacaran dengannya, aku pernah menaru hati pada teman SMP ku dulu. Bahkan perasaannya sudah bertahan sampai tujuh tahun. Dan mempertahankan perasaan itu disaat aku menjalin hubungan dengan pacarku. Aku rasa, aku juga pernah kejam. Membiarkan diriku berbohong pada perasaanku. Membiarkan diriku menyakiti orang yang sedang berusaha menyayangiku. Padahal dulu, pacarku sungguh sangat pengertian dan hampir buat iri teman perempuanku. Meski begitu, kita banyak banget perbedaan terutama soal keyakinan. Itu alasan mengapa aku belum bisa sepenuhnya menghargai perasaannya.
Kalau flashback sedikit:
Aku memiliki riwayat penyakit magh. Dokterku sendiri bilang kalau maghku sudah kronis. Tapi siapa orang yang peduli selain keluargaku? Dia. Disaat aku malam-malam kelaparan, parahnya kadang jam 1 pagi, dan di rumah gak ada stok makanan apa-apa, aku kesakitan memegang perutku, udah pengen ngamuk aja rasanya. Dia dengan sigap datang ke rumah membawakan makanan untukku. Setelah itu, dia pulang. Cuma nganterin makanan doang. Tapi membantuku menyelamatkan sakitku. Padahal jam-jam tersebut cukup rawan, tapi ia rela melakukan itu, dan sering.
Lalu, aku mengingat kebaikan yang pernah dia berikan, dan tahun 2017 aku memantapkan diri untuk belajar menerima pasanganku. Aku belajar untuk menyayanginya. Aku belajar untuk mencintainya. Tapi teman SMP ku datang padaku, dan perasaanku sedikit goyah. Ah, kamu. Disaat aku akan belajar mencintai satu pria, kamu malah datang. Anehnya sih, kadang aku merasa seolah-olah dia tahu perasaanku. Disaat aku bahagia, dia gak pernah hubungin aku. Sementara disaat aku sedih, merasa terluka, butuh teman bercerita, dia yang selalu ada. Pasanganku dulu menganggap semua saranku gak berguna. Aku gak pengertian lah, dll. Aku merasa gak dihargai, padahal sedang berusaha untuk mencintai satu pria.
Tapi… pada Agustus 2017, aku memiliki firasat gak enak. Aku merasa ada yang berubah darinya. Udah LDR komunikasi seminggu sekali. Sekalinya komunikasi Cuma sebentar dan lagi-lagi ada kesalahpahaman. Siapa sih yang gak cape menjalani hubungan seperti ini? Rasanya dulu pengen banget buat mutusin, tapi aku inget lagi ternyata aku juga berjuang untuk menjaga hubungan yang sudah dijalin selama empat tahun. Aku gak mau sia-siain semuanya. Jadi yaa aku memilih bertahan.
Pada April 2018, aku meminta untuk bertemu dengannya. Aku kangen dan benar-benar kangen. Tapi rasa kangenku dikejutkan dengan satu hal: dia bermesraan dengan teman perempuannya melalui chatting. Bahkan, kalimat yang dia utarakan lebih romantis. Sama aku mah cuek aja.
Hal tersebut membuatku memberanikan diri untuk memutuskannya. Tapi aku gak sepenuhnya menyalahkan dia. Barangkali, dia melakukan itu juga karena aku salah. Dan aku memang salah, karena dia sendiri pernah bilang cemburu dengan teman SMPku, tapi aku abaikan.
Juni 2019, dua hari setelah lebaran dia datang ke rumahku untuk mengajakku balikan. Waktu itu aku Cuma mikir, “Ah, masa aku mau balikan sama orang yang pernah selingkuhin aku?”
Ditambah lagi ketika aku dengannya bersilaturahim ke rumah wali kelas XI, dan ia bilang bahwa "gak perlu balik sama orang yang pernah selingkuh, seperti tak ada yang lain saja."
Dilema semakin menjadi.
Tapi.. aku juga egois. Aku percaya, bahwa setiap orang bisa berubah jika memang mau dan memulai. Dan responku waktu itu minta pembuktian atas sikapnya. Karena aku harus berusaha lagi membuka pintu yang udah lama terkunci. Lagi-lagi, aku sulit menerimanya. Aku gak yakin bahwa dia akan berubah. Apalagi aku sudah memiliki perasaan dengan seniorku.
Satu kalimat dari bapak yang aku ingat ketika aku tunjukkan foto senior, “Kamu maunya sama dia. Tapi dia nya mau sama kamu gak? Mending sama ini (mantan)”
Dan pada Oktober 2019, aku memutuskan untuk gak balikan lagi sama mantan. Tapi apa respon keluargaku? Tidak ada yang menyetujui. Mereka lebih setuju kalau aku balikan. Selain karena udah kenal, keluargaku cukup tahu karakternya. Apalagi pandangan orang tuaku terhadapnya. Padahal saat itu aku sedang menghadapi kenyataan bahwa senior yang aku harapkan ternyata sudah ada perempuan lain.
Karena aku percaya, dalam hal ini orang tuaku lebih berpengalaman karena mereka sudah menjalin pernikahan lebih dulu. Tidak salah kan kalau mereka memintaku agar balikan lagi sama dia. Ditambah keluarganya dia juga melakukan hal yang sama.
Satu kalimat yang masih aku ingat ketika aku silaturahim ke rumah ibunya, “Walaupun dulu anak ibu mainin kamu dan sama bidan, tapi ibu gak setuju. Kakak-kakakknya dia juga gak setuju. Mereka lebih setuju sama kamu. Dan ibu pengen kamu jadi menantunya ibu.”
Namun, kalimat itu gak ada pengaruhnya buat aku. Lagi-lagi aku merasa belum yakin. Aku belum yakin kalau dia gak akan mengulangi lagi.
Sampai pada satu titik kami sama-sama sadar: menjalani hubungan tanpa diridhoi orang tua itu gak enak.
Dan kesadaran itu terjadi ketika kami jalan berdua dan berbicara banyak hal terutama mengenai hubungan ini.
Dari situ, aku belajar menerima kembali. Karena semakin hari, keluuargaku semakin yakin dengannya. Dan tepat 25 Mei 2020, dia bersama ibunya menemui orang tuaku dan membicarakan perihal hubungan ini. Apa aku terharu? Tentu. Ibunya meminta supaya aku lulus dulu. Dan orang tua kami berpesan untuk saling sabar dalam menunggu. Hal tersebut membuat kami semakin mantap untuk menetapkan pilihan pada satu perempuan dan satu laki-laki.
Aku percaya, hubungan membutuhkan keridhoan dari orang tua kedua pasangan. Gak cuma orang tuaku yang ridho, atau sebaliknya, tapi harus keduanya.
Sebab orang tua dan berkaca pengalaman dari kakakku yang sudah menikah, aku memutuskan untuk berhenti mencari yang lain. Aku memutuskan menerima sesuatu yang sudah ada dan menjaganya. Terlebih, menetapkan menaru hati pada satu jiwa. Dan menurut perkataan orang tuaku. Barangkali, perkataan mereka adalah kebahagiaanku kelak.
Kepada kamu, terimakasih sudah berjuang kembali. Terkait perselingkuhan yang kamu lakukan waktu itu dan membuatmu sadar, aku memaafkan. Aku pun minta maaf karena aku telah melakukan hal yang sama meski dengan gelagat yang berbeda.
Masa lalumu biarlah menjadi masa lalumu.
Masa laluku biarlah menjadi masa laluku.
Tapi.. Masa depan adalah milik kita.
Masa depan adalah milik orang yang siap untuk berjuang melawan arus kehidupan yang sungguh tak terduga. Dan kita adalah dua insan yang sudah siap menghadapi kenyataan di hari esok.
Sayang, bekerja dengan jujurlah di sana. Pahami bahwa setiap pilihan selalu ada konsekuensinya. Meskipun kita kembali menjalani hubungan jarak jauh, tak mengapa. Hal itu terbiasa bagiku dan bagimu. Tak ada yang perlu diperdebatkan, bukan?
Jika rindu, katakanlah rindu.
Jika kesal, ungkapkanlah kekesalanmu.
Selama masih ada dua hati yang ingin dipersatukan, selama itu pula cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Selamat melalang buana untuk menggapai masa depan bersama. Jangan lelah, apalagi menyerah. Sebab, cinta yang benar adalah saling mamahami, bukan menuntut.
Comments
Post a Comment