Titik Terendah - Melepaskan Mimpi (1)
Titik Terendah... #1 Melepaskan Mimpi
"Setiap orang akan mengalami masa ini dengan masalah dan kadar yang tentu berbeda. Dan saya percaya itu" –
Bagimu, mungkin ini ringan, tapi cukup berat
bagiku.
Ini adalah cerita nyata yang saya alami, tentang
diri yang berada pada fase terendah. Bahkan, bukan hanya saya, tapi keluarga
saya.
Sejak sebelum masuk SD, saya sudah ditanya
cita-cita oleh orang tua saya mau jadi apa nantinya. Memang, ini pertanyaan
umum yang kerap kali ditanyakan oleh orang tua kepada anaknya. Tapi saya yakin,
orang tua saya khususnya bapak menanyakan hal tersebut bukan sekedar ingin
tahu, tapi menyiapkan berapa dana yang
harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan yang saya inginkan.
Bahkan, saya
sudah disiapkan buku bacaan bergambar sejak umur 3 tahun oleh bapak. Saya juga ingat
betul, waku itu saya sudah diajari hitungan dasar dan baca huruf abjad hingga merangkai
kata yang sederhana.
“Nak, kalau kamu sudah besar nanti, kamu ingin menjadi apa?”
“Aku ingin jadi dokter spesialis jantung atau kejiwaan, Pak. Biar bisa ngasih pengobatan gratis ke orang yang gak mampu.”
Haha, klise sekali yaa jawabannya.
Namun, jawaban saya melihat kemampuan orang
tua, makanya saya percaya diri saja menjadi dokter. Dan jawaban ini di respon
serius oleh bapak saya.
“Tenang, kamu pasti bisa menjadi dokter yang kamu inginkan. Tak perlu khawatir, bapak sudah menyiapkan uangnya.”
Bayangkan, untuk menuju sekolah kedokteran
butuh waktu 9 tahun lagi saja sudah disiapkan. Padahal saya baru masuk kelas 3
SD.
Orang tua saya gak kaya, tapi gak miskin
juga. Namun, untuk masalah Pendidikan akan didorong semaksimal mungkin.
Dan ketika bapak sudah mantap dengan tujuan
saya, bapak memaksa saya untuk kursus bahasa asing, khususnya bahasa inggris. Saya
ingat betul, bapak akan minta tolong temannya untuk mencarikan guru private untuk
datang ke rumah. Sayangnya, saya berkali-kali menolak dengan alasan masih ingin
bermain dengan teman sebaya.
Bapak cukup punya privillage: relasi.
Di saat yang bersamaan, bapak mendidik saya agar menjadi anak yang mandiri. Yaps, saya adalah anak terakhir, tapi didikan
kemandirian hanya diberikan kepada saya. Sungguh tak adil, bukan?
Kakak-kakak saya minta detik ini, dikasih
langsung. Sedangkan saya, harus nabung dulu. Usaha dulu. Ya gimana caranya biar
bisa beli apa yang saya pengin. Paling orang tua hanya menambahkan. Makanya untuk bisa membeli apa yang saya inginkan, saya pernah beberapa kali ngamen. Hahaha, konyol. Sudah pasti, tanpa sepengetahuan orang tua. Karena kalau tahu, mereka akan sangat merasa bersalah. Dan saya cukup bersyukur, orang tua tak pernah mengijinkan anak-anaknya untuk lelah secara fisik.
Dalam urusan cucian, saya sudah diminta belajar
nyuci pakaian sejak dini. Bodo amat mau bersih atau gak, masih ada deterjennya
atau gak. Mana harus pakai tangan lagi.
Pokokonya, saya diminta untuk melakukannya
sendiri, tanpa minta bantuan ke orang lain, termasuk orang tua atau kakak saya.
Di tambah, saya harus memulai untuk membuat rencana untuk hidup saya. Dari hal yang
sepele, membuat jadwal harian.
Bagi saya, ini adalah ketidakadilan. Anak bontot/terakhir
adalah yang hidupnya enak, katanya. Tapi tidak berlaku bagi saya. Saya justru
merasa terintimidasi dalam keluarga saya sendiri.
Apa-apaan ini, kenapa cuma saya?
Pada akhirnya, saya tahu mengapa didikan
mandiri hanya diberikan kepada saya. Sepertinya, bapak saya sudah memprediksi
bahwa kehidupannya akan berubah. Kehidupannya tak akan seenak dan seindah dulu.
Tuhan mulai memberikan keluarga saya ujian.
Dari mulai bapak yang kurangnya panggilan untuk menjadi mandor bangunan, pendapatan
ibu saya yang katanya bakul sudah mulai berkurang, hasil pertanian yang justru
merugi, ternak ayam kalau gak dicuri orang yaa mati, kakak saya bermasalah, dan
masalah-masalah lain.
Bapak saya mulai menjual asset yang dimiliki untuk mencoba peruntungan hidupnya. Memperbaiki apa yang salah dari dirinya. Ternyata gagal, tapi bapak tidak menyerah. Gagal lagi, tapi bapak tetap tidak menyerah. Sampai bapak mengalami kesadaran untuk berhenti menjual investasinya dan menjalani kehidupan yang apa adanya.
Puncak masalahnya adalah Ketika saya kelas
6 SD. Saya bermimpi bahwa bapak dan ibu meninggalkan saya dan takkan kembali. Dalam mimpi itu,
mereka pergi menggunakan bus dan berpesan agar saya hati-hati selama ditinggal
mereka. Dan saya menangis sesak pada alam bawah sadar yang sampai pada alam
yang nyata.
Kakak perempuan saya terbangun mendengar
suara tangisan saya di kamar, dan saya ceritakan mimpi itu secara detail pada
mereka.
Dan kau tahu, apa yang terjadi sebenarnya?
Pagi jam 08.00 nan, saya dan kakak saya
yang di rumah mendapat kabar bahwa orang tua mengalami kecelakaan dalam
perjalanan.
Orang tuaku menggunakan sepeda motor, dan
di hantam oleh truk. Orang tua saya mengalami luka-luka dan motornya hancur. Ini
adalah kasus tabrak lari.
Sejak hari itu, saya tidak pernah percaya
bahwa mimpi itu indah. Saya justru menjadi benci dengan mimpi yang saya alami. Bisa
dhitung selama hidup berapa kali bermimpi, tapi sekalinya bermimpi.. bagi saya
adalah kekejaman yang sesungguhnya.
Saya benci bunga tidur, titik!
Lalu, ujian makin bertubi.
Beberapa bulan kemudian, masih kelas 6,
bapak minta maaf karena dana yang sudah disiapkan untuk masuk ke fakultas
kedokteran nyaris tak ada. Dunia saya runtuh seketika.
“Nak, bapak minta maaf ya.. bapak gak bisa kuliahin kamu di jurusan kedokteran. Kamu paham kan nak, biayanya mahal sekali, bapak sudah gak bisa. Tapi bapak janji, bapak akan kuliahin kamu di luar itu, selama bapak masih merasa mampu untuk membiayai. Apa pindah ke jurusan ke ekonomi aja, nak?”
Saya tidak menjawab tawaran bapak. Saya hanya
menangis mengubur mimpi yang sudah saya cita-citakan cukup lama. Saya mengubur
mimpi yang selama ini menjadi bayangan kebahagiaan dalam pikiran saya. Saya pikir
ini mimpi, ternyata bukan. Ini nyata. Ya, saya harus mengikhlaskan dan mengubur
dalam-dalam mimpi saya ini.
Dalam hati saya pada waktu itu, saya berjanji
bahwa saya akan berusaha untuk membayar kuliah dengan uang pribadi. Saya akan
meminta jika kurang saja.
Jujur, hingga detik ini saya masih
terbayang oleh mimpi saya. Yaa, dokter spesialis jantung atau kejiwaan!
Kalau diingat-ingat, dulu buku diary saya berisi
dengan segala apa yang saya cita-citakan dan di halaman pertama berisi:
Eli Krisnawati, Sp.JP/KJ
Dan daftar harian ketika saya menjadi
dokter nanti! Terasa indah, bukan?
Tanpa pikir panjang, saya bakar buku diary itu.
Hm, sejak saat itu saya bingung mau ngapain
lagi. Kondisi saya sudah berubah, saya kehilangan mimpi saya. Tapi saya cukup
beruntung, di tengah kecelakaan orang tua saya, mereka masih diberi kesempatan hidup yang menjadi
sumber kekuatan saya.
Selamat jalan mimpiku! Tak apa, saya masih
punya harapan untuk tetap hidup!
Comments
Post a Comment