KEPERGIAN

#DiaryEli

“tidak ada yang abadi dalam hidup di dunia ini”

Kehilangan seseorang adalah hal yang tidak diinginkan. Entah kehilangan pasangan ketika lagi sayang-sayangnya, teman yang biasanya menjadi tempat bercerita, salah seorang keluarga yang biasanya menjadi bagian untuk tertawa pada hidup ini, atau bahkan orang lain yang kita cintai. 

Pertama, aku kehilangan nenek yang  diberi nama Rumi oleh orang tuanya. Ketika aku kelas V SD, nenekku sakit parah sampai ia harus di rawat di rumah sakit di ruang ICU. Dan ini sakit terparah selama hidupnya, karena memang beliau kelihatan sehat-sehat aja selama ini. Aku sendiri gak tahu betul tentang penyakit yang dideritanya. Yang ada, aku seringkali menangis dari bilik jendela kamar ICU karena gak boleh masuk, apalagi mengobrol. Seketika itu, aku hilang harapan. Aku menangis sejadi-jadinya, karena sudah satu bulan nenek gak sadar juga, ditambah pasien disamping kanan-kiri, depan-belakang, bergantian dipanggil yang maha kuasa. Ah, lalu aku memeluk bapak, bahwa aku sangat takut kehilangannya. Bapakku menenangkanku, berusaha meyakinkanku bahwa nenek masih bisa bangun dari koma nya. Dan puji syukur, Allah masih menghendaki nenekku untuk sadar. Sehingga beberapa hari kemudian, nenek diijinkan pulang. 

Akupun memanfaatkan momen bersama nenek lagi, ya setiap pulang sekolah aku selalu menjenguknya, mengobrol, bahkan aku yang menyuapi makanan di mulutnya. Aku ingin nenek hidup lebih lama, itu saja. Aku akan merasa sulit jika hidup tanpanya. Katanya sih, aku adalah cucu kesayangannya.
Rupanya, sudah tiga hari kondisi kesehatan nenek kembali tidak membaik. Semua anak cucunya berdatangan, termasuk keluargaku. Khawatir, hingga ada yang menangis. Bahkan, mereka menawarkan kepada nenek akan memberikan sesuatu yang istimewa jika nenek sembuh. 

Lalu, kata mereka, nenek memanggil namaku, “Eli… Eli…” yang saat itu aku sedang sekolah. Dan jam 10 pagi, kakakku menyusulku ke sekolaah dan ijin kepada guruku agar pulang lebih awal. Ini semua demi nenek. Dalam perjalanan pulang, aku menangis dan memanggil namanya. Sesampainya di sana, aku berteriak dari gerbang rumah, “neneeeeeeeeekkkkkkk……” dan aku segera memeluknya. Aku tanyakan kenapa memanggilku, katanya ia ingin bertemu denganku untuk yang terakhir kali. Aku semakin menangis sejadi-jadinya. Apalagi nenek juga mengatakan bahwa dalam bayangannya, ada seorang berjubah putih yang menjemput nenek. Aku semakin takut untuk kehilangannya. Lalu, ia berpesan padaku saat itu.
“Cucu nenek tersayang, jaga diri baik-baik ya. Berbakti pada bapak ibu, sekolah yang benar, jangan tinggalkan sholat, berkata jujur, dan nenek ingin melihatmu menjadi dosen suatu saat ini. Raihlah mimpi yang kamu inginkan.” 

Aku mengangguk pasrah. Dan sanak keluarga yang lain ikut menangis dan meminta agar nenek tidak meninggalkan mereka. Kami pun menginap di rumah nenek. Jam 11 malam, salah satu dari sepupuku menggelar selimut di tubuh nenek, namun ia merasa aneh. Setelah mencoba membangunkan, ternyata nenek sudah tak bernafas lagi. Nenek pergi meninggalkan kami dari dunia ini untuk selama-lamanya. Sepupuku berteriak dan menangis histeris, kami terbangun. Dan semua bersedih.

Esoknya, nenek akan di makamkan pada jam 10 pagi. Sebelum itu, harus dimandikan dulu. Dan aku ikut untuk memandikan beliau. Aku ingin melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya, aku juga ingin melihat mulutnya yang masih tersenyum manis, tubuh nenek bersih, aku memegang tangganya, dan meletakannya di pipiku, lalu aku genggam seerat mungkin. 
Kematian  nenek meruntuhkan duniaku, aku merasa gak punya teman lagi yang begitu asyik mengajakku mengobrol di sofa, tertidur di pangkuannya, dan memanja dengannya. Nek, secara mata kau memang sudah pergi, tapi secara jiwa kau masih mengganggam jiwaku. Dan sampai hari ini, aku merasa bahwa kau selalu di sisiku, jiwamu masih abadi.

Setelah selesai dimandikan, nenek dilapisi kain kafan dan menuju ke pemakaman. Banyak tetangga, bahkan orang yang jauh pun ikut melayat. Aku menangis memeluk bapak ketika nenek akan segera diturunkan ke tanah yang ditutupi papan dan tanah. Selepas itu, aku ikut menabur bunga dan menyiramkan air di tempatnya di makamkan. Beberapa orang mengatakan, 
“nenekmu tak pernah lelah untuk beribadah”
“nenekmu orang baik, percayalah, nenekmu akan di syurga-nya”
Mereka pun berusaha menenangkanku.
**
Semasa hidup. Aku dan nenekku tak hanya sebatas aku sebagai cucu, dan ia sebagai nenek. Tapi ia seperti sahabatku, yang tak pernah mengeluh karena keluh kesahku. 

Saat ia masih hidup, setiap pulang sekolah aku selalu bermain ke rumahnya. Hal yang paling aku suka adalah ketika aku berada di pundaknya, dan ia mengelus halus rambut kepalaku sambil bersyair, nenek memang suka puitis. Tapi gak ada satu katapun yang aku ingat. Bahkan, ia tak bosan-bosannya bercerita dan memberiku nasihat. Nenekku, adalah seorang yang rajin beribadah. Ia tak pernah lalai meninggalkan shalat 5 waktunya, apalagi tahajudnya. Ya, bahkan hingga usianya sudah 90 tahun lebih pun, nenek tetap shalat. Baginya, sholat adalah salah satu bentuk syukur kepada-Nya. Tidak hanya itu, nenekku juga hafal al-qur’an, ya walaupun masih satu juz, pada juz 30. Tapi buatku, nenekku begitu hebat, di usianya yang sudah renta, ia masih mengingat ayat demi ayat alqur’an. Jika sedang sakit, ia rela berbaring agar tetap beribadah kepada sang ilahi. Dilanjutkan dengan berdzikir dengan tasbih menggunakan lingkaran jari dan menghafal lantunan ayat al-qur’an. Ia sering mengajakku melakukan ibadah, tapi aku gak mau. Malah lebih milih main. Boro-boro hafal pada juz 30, ngaji satu ayat saja bersyukur lahir batin. Mohon agar gak ditiru ya.

Nenek juga hobi berkebun. Di belakang rumahnya, ia menyiapkan tanah khusus untuk membangun kebun kecil-kecilan. Selain untuk usahanya, hal itu juga agar tidak banyak membeli. Banyak jenis yang ia tanam; mulai dari kangkung, cabai, tomat, mentimun, labuh, pepaya, pisang, dan tanaman jenis obat-obatan. Setiap aku melihat nenek berkebun, aku melihat ia bahagia sekali. Ia menyirami, memupuk tanamannya penuh cinta, binar matanya menenangkan. Sesekali aku diajak dan diajari cara bercocok tanam. Selain itu, nenek juga menanam biji mangga, jambu merah, dan jambu biji di halaman depan rumah. Setiap panen, aku selalu mengambil dengan kayu panjang untuk di makan bersama nenek, kadang dibuat rujak buah atau di bawa pulang untuk cemilanku. Kadang juga aku yang memanjat pohon buah itu dan nenek menggelar kain agar buahnya tidak rusak ketika aku jatuhkan ke bawah. Pohon buah iu yang sudah kami rawat hingga buahnya begitu banyak. Ada juga beberapa bunga yang ia rawat, seperti melati, kembang sepatu, kembang kucing, mawar, dan kaktus. Jika pohon melati berbunga, nenek segera mengambil dan menebarnya di atas kasur agar wangi. Nenekku memang sangat suka dengan hal-hal yang demikian. Rumahnya dikelilingi warna hijau, sehingga memiliki kesan natural. Itulah alasan kenapa aku betah di rumah nenek.

Nenek juga sering ke rumahku untuk membersihkan rumah, karena orang tuaku sering pergi dan pulang di jam yang tak tentu. Nenekpun inisiatif sendiri. Padahal anak-anak orang tuaku tidak suka kalau nenek bersih-bersih. Sering juga kami mengambil sapu, agar nenek duduk saja menikmati hidangan yang sudah kami sajikan. Tapi nenek tidak mau. Hidup tak ada aktivitas itu membosankan, katanya. Alhasil, rumah pun terlihat benar-benar bersih, karena memang nenek tak suka jika rumah yang dihuni itu kotor. Setiap satu plastik yang ia lihat di depan matanya saja, ia langsung mengambil dan manaruhnya di tempat sampah. Kalau sampah sudah dikumpulkan, nenek akan membakarnya di lubang belakang rumah. Katanya, kebersihan itu sebagian dari iman.
Setiap nenek main, cucunya selalu membuatkan secangkir teh manis dan jajanan yang sudah ibu beli di pasar, karena memang ia suka sekali dengan teh manis. Ia juga suka menginang entah di ruang tamu maupun di teras depan. Ia yang menyusun daun sirihnya, aku yang menghaluskan abunya dengan alat seadanya. Hingga serenta itu, gigi nenek masih utuh. Kadang aku sering bermanja ria untuk meminta agar nenek menyuapi makanan untukku. Setiap suapan yang ia tunjukkan, entah mengapa memberiku kebahagiaan. 

Tidak hanya itu, nenek juga pernah menceritakan sejarah Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Ia bilang bahwa saat itu nenek pernah bersembunyi di lobang, karena jika ketahuan, maka akan diperkosa. Jadi, mau tidak mau, nenek harus bersembunyi di balik sampah-sampah itu. Ia juga bilang, bahwa lingkungan rumah yang sekarang aku tempati itu hanya ada rumah nenek yang masih pagar putih. Samping kanan-kiri, depan-belakang semuanya pepohonan. Belum ada listrik pula. Makanya, penerangannya menggunakan ceplik (botol besi yang diisi minyak tanah dan sumbu kapas). Ia juga merasa beruntung, karena selamat dari serangan penjajah. 

Dalam urusan percintaannya, nenek menikah dua kali. Yang pertama, dengan salah satu abdi negara. Kata nenek, pada masa itu gaji abdi negara amat sedikit, kalau mengharapkan kaya ya susah. Beberapa tahun menikah, suaminya meninggal dan nenek menikah lagi dengan yang saat ini. Di setiap cerita kakekku, katanya nenek dulu adalah wanita yang parasnya cantik, kulitnya kuning, dan enak dipandang karena rajin beribadah. Kakekku sangat mencitainya. Mungkin, istilah jaman sekarang adalah bucin. Aku sendiri pernah melihat langsung, kakek rela melakukan apapun untuk nenek. Sampai hari ini, Alhamdulillah kakekku masih hidup dan selalu mengingat kenangan bersama nenek. Berharap, cinta mereka akan abadi. 

Ada beberapa nasihat yang masih aku ingat sampai saat ini.
Beribadah
Nenek tidak pernah lelah menasehatiku untuk selalu beribadah. Untuk tidak meninggalkan sholat 5 waktu. Bahkan, katanya aku harus melaksanakan sholat 7 waktu. 5 sholat wajib, tahajud, dan dhuha. Selain menjadi kewajiban seorang muslim, sholat juga sebagai salah satu hubungan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam doa yang dilakukan usai sholat, akan membawa diri pada ketenangan, ketentraman. Tidak lupa untuk mengaji, karena setiap satu huruf hijaiyah mengandung 10 kebaikan.  Katanya. 

Berbakti
Katanya, kunci kebahagian adalah berbakti kepada orang tua.

Jujur
Katanya, lebih baik hidup miskin daripada kaya tapi mengambil hak orang lain.

Meraih mimpi
Katanya, mimpi itu harus diperjuangkan, karena itulah jangan pernah menyerah. Kalau lelah, istirahat dan bangun lagi. Ia sendiri semasa hidupnya selalu mendoakan agar semua yang aku harapkan bisa terwujud.

Dan nasihat yang paling penting adalah,  “Hidup itu belum berarti kalau belum memberi manfaat untuk orang lain.”

Kedua, aku kehilangan omku yang bernama Marzuki. Omku ini berusia sekitar 35 tahun. Perawakannya tinggi, kulitnya kuning, hidung mancung, dan rambutnya klimis. Ia bekerja di salah satu perusahaan BUMN. Omku adalah seorang pekerja keras dan menyayangi keluarga kecilnya, dan termasuk keluarga bapakku. Tapi, sebenarnya ini bukan om yang dari keturunan bapak atau ibu sih.

Aku ada cerita dari bapak. katanya, tidak kenal sama sekali dengan omku ini. Tapi kemudian ada berita bahwa omku sakit parah dan sudah di bawa ke dokter tapi tak kunjung sembuh. Istrinya pesimis, ingin menyerah. Kemudian istrinya mendengar bahwa ada seorang yang bisa mengobati sakit parah, dan itu adalah bapakku. Datanglah istrinya ke rumahku dan bercerita mengenai kondisi suaminya. Untuk memastikan, maka bapakku mengunjungi rumahnya untuk melihat keadannya. Setelah itu, bapakku pulang  dan rela merogohkan rupiah untuk membuat obat herbal untuknya. Setiap hari, ia diobati dengan obat yang sudah dibuat dan diracik, memijitnya dengan kayu pijit hingga ia sembuh. Karena merasa berjasa pada bapakku, mereka menganggap orang tuaku sebagai orang tuanya. Bahkan, orang tua mereka pun menganggap kami saudara mereka. 

Sebagai bentuk balas budi, mereka rela melakukan apapun ketika bapakku meminta sesuatu. Meskipun aku paham, bahwa bapak tidak akan melakukan itu. Mereka juga sering bertamu ke rumah, dan menganggapku sebagai keponakan. Waktu aku kecil dulu, aku malu-malu diajak ngobrol, karena memang belum kenal siapa mereka. Setiap main, omku selalu memberiku jajan kesukaanku dan uang. Ia juga sering menanyakan tentang kegiatanku di sekolah. Lalu ia memberiku tantangan, jika aku bisa masuk 3 besar, maka aku akan dibelikan sesuatu yang aku inginkan. Tapi aku gak yakin. Ah, jangankan 3 besar, 5 besar aja aku gak bisa. Aku  mikir lagi, tapi kok rasanya tertantang ya? bisa dapatin yang aku inginkan lagi. Akupun berjuang keras agar bisa menaklukan tantangan dari omku. kelas VI SD, aku peringkat 1 dan aku minta dibelikan sepeda agar bisa sepedaan bareng teman. Aku pun mengabari bahwa aku berhasil atas tantangannya. Esoknya, ia langsung membelikanku sepeda dan datang ke rumahku dengan sepeda yang berwarna hijau. Ah, model sepedanya kesukaanku banget lagi. Terimakasih om. Tantangan itu terus berlanjut hingga aku SMA. Sayangnya, pada sekolah menengah aku gak bisa lolos dari tantangannya. Sekolah yang katanya favorit. Entah karena saingannya cukup berat, atau memang aku yang belajarnya gak maksimal, gak bener. 

Tapi aku berjanji pada diriku, aku akan berhasil menaklukan tantangannya lagi. Pada kelas X, aku kembali masuk 3 besar. Omku membelikan netbook asus untukku, satu box chocolatos dan juga cokelat silverqueen. Kali ini, omku menantangku lebih berat. Jika aku nanti bisa kuliah di UNDIP (Universitas Diponegoro), semua biaya akan ia tanggung. Alasan memilih kampus tersebut karena ia adalah salah satu alumninya dan menjelaskan benefit yang didapatkan dari kampus tersebut. Aku kembali merasa tertantang. Siapa sih yang gak mau kuliahnya full dibiayain? Sungguh, ini omku baik banget. Untuk memperjuangkan kampus tersebut, aku belajar lebih rela. Pokoknya setiap setelah isya, belajar sampai larut malam demi bisa tembus salah satu perguruan tinggi favorit itu. Rela gak jalan-jalan dulu deh demi tembus PTN.

Namun, di tengah perjuanganku meraih kampus tersebut, aku mendengar berita buruk. Omku kecelakaan ketika hendak menuju arah pulang dari tempat kerjanya. Aku langsung syok, bagaimana mungkin ini terjadi. 
Kata bapak, omku kecelakaan dengan container dan kepala omku bocor sehingga banyak lumpuran darah di aspal, motor yang ia pakaipun hancur. Dan ia segera dibawa ke rumah sakit terdekat, akan tetapi Tuhan tidak mengijinkannya untuk hidup lagi. Baru saja akan di data, omku menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Aku menangis sejadi-jadinya dan jatuh pingsan. Bapakku tahu jika aku sangat menyayangi omku itu. Keluargaku pun ikut menangis, karena kebaikan-kebaikan yang ia berikan pada kami. 

Om, tapi aku ingin meminta maaf untuk terakhir kali. Maaf, aku gak tembus perguruan tinggi yang om ingin. Kadang, aku merasa bersalah. Seharusnya aku tembus agar omku bisa bahagia mendengarnya. Tapi apa dikata, keputusannya belum berpihak padaku.

Ketiga, aku kehilangan wali kelasku ketika kelas XII yang bernama Pak Yudi, seorang guru musik. Beliau meninggal karena penyakit yang sudah dideritanya selama tiga tahun terakhir. Dan meninggal di Rumah Sakit karyadi Semarang pada tahun 2016. 
Kepergian beliau tak hanya membuat kami kehilangan, tapi juga merasa bersalah. Ya, karena kami sering suudzon ketika beliau jarang sekali hadir di kelas. Kami mengira bahwa beliau bukan wali kelas yang peduli. Wali kelas yang hobinya jalan-jalan. Wali kelas yang korupsi karena sering banget gak ngajar di kelas padahal sudah digaji (ini paling kejam sih). Bahkan, kami menyesal mendapatkan wali kelas sepertinya, kami ingin wali kelas seperti saat kelas XI. 

Tapi ada satu kejadian yang membuat kami sadar. Saat itu, akan menjelang ujian dan tentu kami diminta untuk membayar uang SPP, namun banyak dari kami yang belum cukup untuk membayar sehingga meminta bantuan ke wali kelas untuk membantu mengurus dispensasi, dan aku diminta teman-teman yang lain untuk menghubungi beliau. Namun, beliau ternyata sedang di Semarang. Ada urusan, katanya. Ah, lagi-lagi kami merasa beliau benar-benar tak peduli. Rasanya ingin ganti saja wali kelasnya. Buat apa memiliki wali kelas jika dibutuhkan saja malah gak ada di sekolah?

Tapi kami tak cepat pasrah, sampai akhirnya beliau mengabari pada kami akan sampai di sekolah pada jam 10 pagi. Kami pun senang. Akhirnya, wali kelas kami membantu mengurus dispensasi. Kami pun bisa mengikuti ujian tanpa memikirkan biaya. Ya walaupun setelah ujian harus membayar numpuk sih. Kali ini, kami sangat berterimakasih pada beliau. 
Masa-masa kelas XII adalah masa berakhirnya sekolah di sini. Entah ada yang akan melanjutkan pendididikan atau memilih bekerja. Sebagai kenang-kenangan, maka kami membuat acara perpisahan untuk kelas kami sendiri dan dengan membuat kaos yang diberi nama Dulastri. Kaos ini kami buat sesuai jumlah siswa yang di kelas ditambah dua untuk wali kelas XI dan XII kami. Mereka memberiku kepercayaan agar aku yang menghandle pemberian itu. aku membungkusnya dengan kado. 

Kami pun segera ke rumahnya. Kami ke rumah pak Yudi dahulu, tapi beberapa diantara kami ada yang gak bisa ikut karena ada kesibukan tersendiri. Di rumahnya, kami mengobrol apa saja terutama soal musik dan perjalanan beliau mengadakan event yang berhubungan dengan itu. 
Setelah mengobrol cukup panjang, kami berpamitan untuk pulang dan memberikan kenang-kenangan untuk beliau. Setelah sampai ditengah perjalanan, aku merasa da yang janggal. Kok kayaknya ketukar ya kadonya? Setelah di cek, memang benar. Siap-siap deh dapat ocehan dari teman-teman. Gak apa-apa, wong aku salah. Tapi masa mau balik lagi dan bilang kalau kadonya ketukar? Kan gak mungkin, tapi dipikir lagi kalau gak ditukar, beliau gak pakai dong. Karena ukuran untuk beliau berbeda dan lengan pendek. Sementara untuk wali kelas kami kelas XI, Bu Dyah adalah lengan panjang. Ya sudahlah, aku memang gak hati-hati.

Beberapa bulan setelah kelulusan, kami mendapat kabar bahwa beliau meninggal. Jujur, kami syok. Perasaan sehat-sehat saja. Kami pun mengkrompomikan di grup kelas agar takziyah ke sana. Kami menemui istrinya yang pada waktu itu matanya lebam sekali dan kami menanyakan sebab beliau meninggal. Ia bercerita bahwa beliau sudah sakit parah selama tiga tahun terakhir, itulah sebabnya sering ke Semarang dan meninggalkan kelas dan tubuhnya makin hari makin kurus saja. Itu juga yang menjadi alasan beliau gak mengajar selama beberapa bulan belakangan. Jadi, kami selama ini udah salah paham sama beliau, yang mengira bahwa ia tak peduli kami? Lantas, mengapa tak ada seorang pun yang memberitahukan tentang penyakit beliau? Taukah jawaban sang istri? Ia bilang bahwa penyakitnya cukup keluarganya saja yang tahu, agar orang lain terutama kelas kami tak khawatir. Dan gak ingin dikasihani. Astaga, maafkan kami Tuhan, sudah salah paham duluan tanpa inisiatif mencari informasi. Benar-benar membuat kami merasa bersalah. 

Pak, maafkan kami yang sudah menuduhmu yang gak-gak. Sekarang, kami mengerti mengapa kau sering pergi. Terlepas dari itu semua, wajah bapak masih aku ingat dan aku abadikan fotomu dalam postingan instagram milikku. Fotomu yang tersenyum dan menggunakan kacamata dengan tubuh yang terlihat bugar. Sekali lagi, kami minta maaf. Dan terimakasih atas perjuangnmu memperjuangkan kami dan memperjuangkan dirimu untuk sembuh, meski Tuhan berkata sudah saatnya kau pulang dan kembali pada pangkuan-Nya.

Perlahan, aku kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupku. Tapi begitulah hidup, tiada yang abadi. Yang hidup perlahan pergi meninggalkan orang-orang yang ia cintai. Yang sedang hidup, belajar untuk selalu mencintai orang-orang terdekatnya.
Selamat jalan orang-orang berarti dalam hidupku. Semoga Tuhan menghendaki kita berada di syurga-Nya. Aamiin. 

Comments

Popular Posts