Berubah

#diaryEli

"Setiap orang berhak berubah, selama hal tersebut tumbuh dari dirinya sendiri."

Pernah kezel gak sih ketika kamu ngasih nasihat ke orang tapi orang tersebut malah nganggep nasihatmu itu gak guna? Atau malah ga berubah-ubah? Parahnya, malah marah-marah.
--
Ketika aku menjalin hubungan dengan seseorang, dulu banyak banget kesalahpahaman. Banyak cek cok. Masalah kecil dibesarin. Sampai aku ingin nyerah. Cape ngejalani hubungan yang istilah kerennya gak simbiosis mutualisme. 

Doiku hidup sendirian di kampung, karena orang tua dan keluarga yang lain tinggal di Tangerang. Setiap bulannya dapat jatah bulanan. Sebagai lelaki yang tinggal sendirian di rumah, mungkin dia gak mau ribet. Jadi, apa-apa itu menggunakan jasa. Pakaian di laundry, makanan beli melulu. Kalau di pikir-pikir, masak untuk diri sendiri doang terlihat boros sih. Apalagi biaya makan di kampung masih terbilang murah. Kalau soal ini, masih di maklumi sihya. 
Tapi ada satu hal sih yang bikin aku sebel: Laundry. Bukannya ga boleh, masalahnya dia rutin. Sebulan bisa ngabisin duit 200rb lebih. Apa salahnya sih belajar nyuci baju sendiri? Apa salahnya sih belajar nyetrika baju sendiri? Sesekali lahh dikerjain sendiri. Mungkin, menurutnya aku ini menyebalkan. Siapa dia ngatur-ngatur. Tapi sebagai perempuan yang cukup memperhitungkan soal pengeluaran, buatku ini pemborosan. Baginya yang terbiasa hidup enak, gak menjadi masalah sih. Dan.. Setiap kali aku minta dia buat nglakuin sendiri, dia selalu bilang: bawel bawel bawel, kaya ibunya, katanya. Lagian aku mungkin salah kali ya, ngasih gambaran sedikit seandainya gak punya uang. Aku kan pengennya dia nyiapin dana darurat gitu, loh. 
Bahkan, kakak-kakaknya dia meminta hal yang sama sepertiku ke dia. Belajar mengurus diri dan rumah. Jangan karena dpaat jatah bulanan, jadi boros. Hahaha. Di fase ini, aku merasa di bela sih. 
Mbaknya sampai lelah bilang ini itu ke dia, sampai minta biar aku aja yang nasihatin dia. Aduh mbaaaakk, adikmu susah banget nihh dibilangin. Aku sendiri hampir nyerah, masa bodo lah.

Mungkin Tuhan ngasih dia hidayah, di tahun 2017 dia udah mulai belajar nyuci baju sendiri. Meskipun urusan nyetrika masih dibantu keponakannya. Tapi.. Dia bisa nglakuin gini aja, aku bahagianya minta ampun. Serius. Soalnya dia orangnya susah banget kalo dibilangin. Ketika aku tanya alasannya, ternyata laundry dan nyuci sendiri itu selisihnya lumayan ya. Katanya. Di titik ini, aku lebih bahagia. Sepertinya dia mulai melek sedikit antara pemasukan dan pengeluaran.
Tapi dia tetep boros sih, apalagi pengeluaran makan. Padahal dia sekarang udah tinggal sama mbaknya yang punya warung makan. Tapi hobinya makan melulu di luar. Bukan gak boleh sihyaa, masalahnya setiap hari dan tiga kali sehari. Keliatan banget borosnya. Padahal di warung makan mbaknya masakan apa aja ada. Dan ini sering jadi keluhan mbaknya. Katanya, di kasih uang saku kok habis terus. Gak ada tabungan sama sekali. Kalo diitung, seharusnya dengan uang saku sebanyak itu ada tabungannya sih, ya paling gak 20% nya lah. Aku sendiri minta dia buat mempersiapakan keuangan wisuda. Emang sih masih jauh,  empat semester lagi, tapi bukannya prepare lebih baik? Lagi-lagi alasannya banyak kebutuhan kuliah. Uang fotocopy, dll. Padahal fotocopy aja gak tiap hari. Emang dasar pemboros. Bahkan, gara-gara ini aku mempertimbangkan hubungan: Masa iya sih aku mau hidup sama orang yang borosnya minta ampun? Masa iya sih aku mau tinggal sama orang yang maunya makan enak melulu? Kalau kondisi keuangan lagi gak stabil gimana dong? Pertanyaan-pertanyaan itu rasanya pengen udahan aja. Di kasih uang sebanyak itu, tapi gak ada tabungan seribu pun. Menyebalkan. 

Menyebalkannya lagi, saran-saranku selalu dianggap gak berguna.
"Halah, kamu kalo dimintain saran gak ada yang berguna" 
Siapa sih yang gak nyesek hatinya? Gak tau diri emang, udah dikasih saran bukannya berterimakasih malah mencaci. Sampai aku matiin telfonnya. Lagian aku gak minta saranku di pakai. Namanya aja SARAN kisanak. 

Apalagi ketika dia curhat orang tuanya. Jadi, ibunya itu menikah lagi. Dan anak-anaknya belum ada yang siap menerima suami atau ayah barunya. Termasuk doiku. Dia bahkan marah-marah atas keputusan ibunya. Setiap aku menasihati dia untuk tetap mengakui suami sebagai bapak, dia selalu marah. Dia selalu bilang kalau aku tuh membela ibu. Gimana ya, kadang ada seseorang yang butuh pasangan. Apalagi sekarang ibunya hidup di kampung sendirian. Siapa yang gak kesepian? Tentu ibu juga menginginkan teman bercerita. Paling tidak, ada yang menjaga ibu nya. Dan dia masih gak mau mengakui suaminya sebagai bapak, apalagi menganggapnya ada.
Dan aku selalu dibilang banyak nuntut. Bukannya nuntut sih, tapi gimana ya.. Menurutku perubahan juga butuh tuntutan. Di matanya, aku ini sosok perempuan menyebalkan. Sukanya nuntut. Haha. Tapi sayang, aku melakukan ini untuk kebaikan dirimu sendiri. Hmm, tapi aku juga ga bisa memaksakan juga sih. Yaudahlhayaa.

Juli 2019, aku merasa ada perubahan dalam dirinya. Di akhir semester kuliah, dia mencari pekerjaan untuk biaya wisuda. Selain karena itu, hal itu juga karena pemasukan mbaknya udah berkurang tapi pengeluaran semakin meningkat karena mbaknya butuh untuk biaya lahiran. Akhirnya, doiku di terima sebagai tentor di salah satu bimbel yang ada di Tangerang. Aku masih gak lelah buat menasihati dia untuk menyiapkan dana tak teduga. Semoga kali ini saranku di dengarkan. 

Setelah bekerja, aku merasa dia mengalami perubahan yang lebih baik. Dia mulai menganggap keberadaan bapak barunya. Dan hal itu membuatku bahagia banget. Akhirnya, dia mulai sadar untuk mengerti keputusan ibunya. Satu kalimat yang aku ingat, "Gimana ya, ibu juga maunya sama dia. Ibu juga udah menua dan sering sakit. Gapapalah aku mulai mengakui sebagai bapak. Gimanapun juga, beliau yang menemani ibu kalau ada apa-apa"

Jujur, aku pengen nangis banget. Terharu. Doiku sudah berubah. Selain itu, dia juga udah mulai belajar menyisihkan uang untuk keperluan yang lain. Mulai mengurangi makan di luar juga. Dan aku melihat, doiku yang sekarang bukan orang yang maunya rebahan aja. 
Aku melihatnya dari yang susah dibilangin akhirnya berubah. Dan aku menjalani kehidupan itu bersamanya. Lelaki yang aku cintai.
Dari perubahan yang nampak pada dirinya, aku semakin bangga padanya. Mungkin benar, bahwa kita tak perlu menuntut orang lain untuk berubah, kecuali ada keniatan dari dirinya sendiri. Semenjak aku merasa lelah, aku berhenti menasihati. Aku membiarkan dia berpikir menyelesaikan masalah hidupnya sendiri. Pada fase ini, aku sangat bangga padanya. Bahkan, ketika dia pulang kampung aku menatap matanya dan sering berkata dalam hatiku sendiri "Lelakiku sudah banyak perubahan" bangga? Banget.

Untuk kamu yang mungkin mengalami hal yang sama: jangan lelah, tetaplah mendengarkan keluhannya. Kamu boleh saja meminta ia berubah, tapi satu hal yang harus kamu sadari: perubahan sejati adalah kemauan dari diri sendiri, bukan karena tuntutan. Akan tetapi, jika kamu masih gak kuat untuk bertahan pada hubungan yang seperti ini, lebih baik sudahi. Sebab, perubahan itu memang butuh proses yang cukup melelahkan.

Comments

Popular Posts