Sebuah Tulisan

Hanya sebuah tulisan.
Selepas memutuskan hubungan dengan pasanganku, beberapa hari kemudian ada seorang wanita menanyakan sesuatu terkait mantanku. Aku sendiri sebetulnya sudah tau dia siapa. Red: wanita yang seringkali diperhatikan oleh pasanganku dulu. Dia menanyakan sesuatu via instagram.
"Maaf, ini mbak putri yang pacarnya si Y bukan?"
"Iya betul. Tapi sekarang, dia bukan pacarku lagi, hehe.."
"Ohya, maaf ya mbak, gara-gara aku kalian putus."
"Tidak. Bukan gara-gara mbak, kok. memang aku udah pengen udahan aja."
"Mba marah sama aku ga?"
"Marah soal apa?"
"Aku dulu pernah nerima Y untuk menjalani hubunhgan. Padahal statusnya, masih pacaran sama mbak putri."
"Aku ga marah mbak. Tapi aku dulu mikir, antara mba sama mantanku. Kok bisa ya mantanku mengatakan begitu padahal udah ada komitmen sama aku? Dan kenapa bisa juga, mba nerima dia? Padahal sama-sama perempuan, tentu tau apa yang seharusnya dirasakan. Aku tidak marah, tenang aja mbak. Sempat cemburu aja hehe.."
"Iya aku paham. Tapi sekarang aku udah mutusin dia. Mba mau ga balikan lagi?"
"Maaf ga bisa, hehe.."
Setelah itu, chatting masih berlanjut hingga larut malam. Si wanita tersebut bercerita banyak hal soal mantanku. Tapi aku memang sudah tak peduli. Ia mengatakan bahwa banyak wanita yang sedang di dekati. Aku tetep keukeuh, sama sekali tak ada lagi rasa cemburu. Ia wanita yang selalu minta maaf karena merasa bersalah. Sampai akhirnya, ia menunjukkan siapa pacar mantanku saat ini. Tetap, aku tidak peduli. Dalam sebuah hubungan, aku serius namun seringkali terlihat santai. Apalagi menjalani hubungan yang sudah menahun, tentu bukan waktu yang sebentar. Ada banyak waktu, tenaga, uang yang harus dikorbankan. Pada dasarnya, prinsipku dalam berhubungan sangatlah simpel. Bahwa aku tidak akan melarang pasanganku ini itu, sebab aku sendiri tak terlalu suka pada paksaan. Pasanganku juga meminta demikian. Baik, aku melakukan. Semakin dipaksa, kemungkinan besar akan semakin melanggar. Tapi ya tetap saja. Padahal aku telah memberikan kebebasaan. Saat dulu, dia mengatakan sibuk karena suatu hal pun, aku percaya. Sampai aku rela, hanya berkomunikasi seminggu sekali. Coba, menjalani hal demikian apakah mudah? Apalagi untuk seorang perempuan, yang sejatinya ingin diperhatikan. Seorang perempuan jika benar mencintainya, maka ia akan melakukan apapun yang ia bisa. Yang tadinya tak sanggup, bisa disanggupi. Tapi ya memang begitu kisah asmara. Tak selalu mulus. Meskipun sudah berjalan lamanya, namanya juga soal cinta. Tetap tidak bisa dipaksa. Kata mereka yang mengetahui hubungan kami, katanya ini sangat disayangkan. Kalo dipikir sih, memang sayang dilepasin gitu aja. Tapi ini tidak bisa lagi dipaksa. Jika pun masih dijalani, kemungkinan besar akan ada pihak yang merasa tersakiti. Sebab, jika sudah tak cinta itu akan sulit. Tidak enak juga jika mencintai seseorang karna paksaan. Namun, aku tetap menerima keputusan mantanku. Aku menghargainya. Namun, kecewa itu masih membekas. Sebetulnya, aku bukan orang yang gampang marah. Bukan pula orang yang mudah sakit hati. Tapi aku merasa dikecewakan dengan cara yang tidak benar. Setidaknya, jika ingin dengan wanita lain, putuskan aku dulu. Jika memang wanita tersebut lebih baik dari aku. Dan tentunya lebih sabar. Sebab, menunggu dalam waktu empat tahun butuh kesabaran yang ekstra. Aku hanya bisa mendoakan, semoga akan dapat wanita yang lebih baik dari aku. Tapi aku sangat berterimakasih pada perjalanan cinta yang panjang ini. Aku belajar, untuk menjadi orang yang sabar. Belajar tetap mencintai meskipun jarak begitu jauh. Dan yang pasti, aku bersyukur bisa memutuskannya. Sebab, setelah aku memutuskan, banyak sekali wanita yang bercerita tentangnya padaku. Dan mereka adalah gebetannya. Aku tidak benci pada LDR, justru aku bahagia. LDR akan memperlihatkan siapa yang tulus dan sekedar main-main.


My Diary
Brebes, 11 Agustus 2018

Comments

Popular Posts